Senin, 09 Maret 2009

Mengolah Sampah Organik Menjadi Briket

Briket merupakan bahan bakar padat yang menjadi bahan bakar alternative pengganti minyak tanah. Saat ini bahan untuk membuat briket tak hanya dari batu bara saja. Sampah organik pun juga bisa dimanfaatkan

Sampah makin melimpah kian menjadi masalah. Tapi, bagi sebagian warga Bantul, khususnya di kawasan Kecamatan Kretek dan Bambanglipuro, banyaknya sampah justru menjadi berkah. Mereka mengolah sampah menjadi produk yang bermanfaat dan mendatangkan keuntungan ekonomi.

Salah satu produk "daur ulang" sampah itu adalah briket sampah. Saat ini ada sekitar tujuh sentra pembuatan briket sampah, tersebar di kawasan Kecamatan Kretek dan Bambanglipuro, Bantul.

Briket yang satu ini memang terbuat dari sampah. Tapi sampah yang dipakai bukan sembarang sampah, melainkan sampah organik. Dedaunan, kulit kelapa, rating-ranting tumbuhan kecil contohnya. Sebutan briket sampah, selain mengacu pada bahan baku, juga untuk membedakan dengan briket batu bara yang sudah ada dikenal masyarakat sebelumnya.

Edi Gunarto (35), salah seorang pemilik sentra pembuatan briket sampah menyebutkan bahwa kegiatan membuat briket ini mulai marak setahun lalu. Pengetahuan dan keterampilan membuat bahan bakar alternatif tersebut mereka dapat dari pelatihan yang diselenggarakan pemerintah desa setempat.

Edi sendiri menggunakan bahan baku kulit kacang dan serutan kayu sisa gergajian kayu untuk pembuatan briket. Penggunaan bahan baku kulit kacang dan sisa gergajian kayu itu lantaran bahan tersebut melimpah di rumahnya. Maklum, di rumahnya Edi juga memiliki usaha penggilingan pengupasan kacang dan penggergajian kayu sehingga tak perlu susah-susah membeli bahan baku.

"Sebenarnya tak harus kulit kacang, tapi semua sampah organik bisa untuk bahan baku. Daun-daunan misalnya, bisa dibuat briket," ujarnya saat ditemui dirumahnya yang terletak di Dusun Plebengan, sidomulyo, Bambanglipuro, Bantul.

Dibuat Arang Terlebih Dahulu

Membuat briket sampah tidaklah terlalu sulit. Proses pertama adalah proses membuat arang. Bahan baku yang berupa sampah dibuat arang dengan cara dibakar dalam tabung tertutup. Jika dibakar di dalam ruang atau tabung terbuka maka akan sampah yang dibakar akan menjadi abu. Pembakaran dapat dilakukan dengan menggunakan drum atau bak di dalam tanah. Setelah menjadi arang, sampah bakar kemudian digiling hingga berbentuk bubuk arang.

Selanjutnya, bubuk arang tersebut dicampur dengan adonan perekat yang terbuat dari kanji. Perbandingan campurannya, setiap satu kilogram adonan perekat, campuran bubuknya sebesar sepuluh kilogram (1 kg adonan perekat : 10 kg bubuk arang). Setelah itu barulah dilakukan pencetakan dan pengepresan dengan mesin. Pengepresan merupakan bagian sangat penting karena menyangkut kualitas kepadatan briket. Semakin padat briket, makin semakin tinggi daya nyala apinya. Proses pencetakan briket menentukan briket yang akan dibuat. Cetakan briket pun beragam, ada yang kotak dan ada juga yang bulat. Setelah proses pencetakan selesai, briket yang masih basah itu kemudian dikeringkan dengan cara dijemur selama kurang lebih 2 hari. jika tak ada panas, atau pada saat musim hujan, briket yang masih basah cukup didiamkan selama 4 hari. Setelah kering, briket pun siap digunakan.

Agar mudah dalam pemasarannya, briket dikemas dalam kantung plastik. Kemasan untuk rumah tangga biasanya dalam ukuran kiloan. Setiap 1 kg berisi 20 kotak briket. Satu kotak briket besarnya kurang lebih 4 cm x 4 cm dengan ketebalan sekitar 3 cm. Semakin kecil ukuran briket, maka semakin mudah untuk menyalakannya. Namun kelemahannya, briket ukuran kecil semakin cepat habis. Harga 1 kg briket sekitar Rp 2.500.

Lebih Irit Dari Kayu Bakar

Menggunakan briket untuk bahan bakar memasak, terhitung lebih irit dibanding minyak tanah. Hitungan sederhananya, untuk keperluan memasak nasi, sayur, dan gorengan lauk, jika menggunakan kompor minyak tanah akan menghabiskan sekitar 1 liter minyak yang harganya sekarang ini paling tidak sekitar Rp 3.000-an. Sedangkan jika menggunakan briket cukup hanya mengeluarkan uang Rp 1.250 untuk keperluan memasak.

"Bahkan hitungannya juga lebih irit dari kayu bakar, jika asumsinya kayu bakar juga membeli. Satu ikat kayu yang kemampuan nyalanya sebanding dengan setengah kilogram briket paling tidak sekarang harganya sekitar Rp 2.500. Jika memakai kayu masih harus melakukan proses pembakaran kayu yang membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Sedangkan dengan briket, mudah ketika menyalakannya," kata Ny. Atun (26) warga Samen, Sumbermulyo, Bambanglipuro, Bantul, yang telah beralih menggunakan briket.

Selain lebih irit, briket sampah tidak akan mengotori peralatan masak ketika dipakai untuk memasak. Karena pembakaran bahan bakar ini tidak banyak mengeluarkan asap maupun jelaga. Apinya pun cenderung stabil menyala. "jelaganya tidak hitam, tapi putih dan lebih mudah dibersihkan," lanjut Sudarti (28) pembuat briket sampah dari Tirtohargo, Kretek.

Mudah Nyala Di Tungku Kecil

Mendengar kata briket, umumnya yang muncul dalam ingatan kita adalah briket batu bara. Briket batu bara selama ini dikenal sebagai bahan bakar alternatif. Namun selama ini pemanfaatan bahan bakar tersebut masih sebatas untuk bahan bakar bagi industri besar.

Rumah tangga belum banyak yang memakainya karena selain agak sulit ketika menyalakannya untuk tungku kecil, harganya juga relatif mahal. Selain itu, di daerah pedesaan, briket batu bara juga agak sulit didapatkan.

Untuk menyalakan briket ini diperlukan tungku gerabah. Caranya, briket ditaruh di lubang di atas tungku. Kemudian briket dinyalakan dari atas. Untuk menyalakan briket sampah pun tidak sesulit briket batu bara. Untuk merangsang api menyala bisa menqqunakan bantuan secuil kain atau kertas. Tidak perlu hembusan angin dari kipas. Asal satu kotak briket sudah menyala maka dalam waktu cepat akan menular ke kotak briket lainnya.

Tungku untuk ukuran rumah tangga, biasanya menggunakan ukuran kapasitas 1/2 kg dan 1 kg briket. Kekuatan menyala 1/2 kg briket berkisar 1,5 jam. "Kapasitas tungku kecil bisa untuk memasak nasi, sayur, dan gorengan lauk secara bergantian. Bahkan sisanya masih bisa untuk menanak air untuk mandi," kata Edi.

Sebagaimana briket pada umumnya, briket sampah ini memang belum banyak dikenal masyarakat luas. Sosialisasi pada konsumen masih sangat terbatas. Selain itu, kendala pengembangan produksi briket sampah, sebagaimana diungkapkan Gunarto, lebih pada peralatan. Selama ini produsen briket sampah di kedua daerah ini masih menqandalkan peralatan manual Akibatnya kualitas pada proses pres kurang bisa seragam kepadatannya.

Minyak tanah kian mahal dan langka. Gas juga setiap saat meroket harganya. Belum lagi rasa takut akibat pemberitaan kasus ledakan gas elpiji. Solusinya, boleh jadi briket sampah menjadi satu satu pilihan alternatif bahan bakar. Apapun alasannya, menggunakan apalagi membuat sendiri briket sampah jelas lebih menguntungkan. Selain lebih irit secara ekonomis, juga membantu mengurangi penumpukan sampah. Ini artinya, ikut menjaga kebersihan lingkungan.

Briket Limbah Kulit Kacang: Energi Alternatif Murah, Mudah Didapat*

Awalnya, Edi Gunarto (36 tahun), warga Dusun Plebengan, Desa Sidomulyo, Bambanglipuro, Bantul, tidak pernah menyangka tumpukan limbah kulit kacang yang menggunung di samping rumahnya itu bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah atau elpiji. Padahal limbah itu sudah menumpuk di sana sejak tahun 2001, sejak ia memulai usaha penggilingan kacang di rumahnya.

Guna mengurangi gunungan limbah kulit kacang yang setiap hari semakin bertambah tinggi itu, Gun menjualnya ke pengusaha tahu di sekitar kawasan Bantul dan kota-kota lainnya untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar mentah pengganti kayu atau minyak tanah dan elpiji. Bahkan, beberapa peternak ayam di Klaten juga memanfaatkan limbah itu sebagai campuran makanan ternak. Sebagai seorang yang sederhana, sesederhana itu pulalah selama ini pemikiran Gun untuk ‘menguangkan’ kembali kulit kacang yang telah dianggap sebagai sampah itu. Biasanya, laki-laki berambut gondrong itu menjualnya secara borongan seharga Rp 100 ribu per truk.

Namun, pada pertengahan 2007 lalu, ketika Pemerintah Desa Sidomulyo menyelenggarakan pelatihan pengolahan sampah organik menjadi bahan bakar, maka berubah pulalah orientasi hidup Gun (panggilan sehari-hari Edi Gunarto). Bersama 20 warga lainnya, dengan peralatan yang sederhana, Gun mengikuti pelatihan pembuatan briket dengan bahan baku limbah sampah organik. “Mulanya, tidak langsung memakai limbah kulit kacang di pekarangan rumah saya itu, melainkan pakai grajen kayu dulu, setelah dicoba berkali-kali akhirnya baru memakai kulit kacang. Selain bahan bakunya mudah didapat itu juga lebih bermanfaat,” terang bapak satu anak itu yang saat ini istrinya tengah mengandung anak kedua mereka.

Pelatihan itu, lanjutnya, sebenarnya tidak hanya memanfaatkan limbah sampah sebagai bahan bakar, tapi juga sampah nonorganik yang bisa digunakan sebagai bahan baku kerajinan, juga sampah organik lain yang bisa dibuat kompos. Namun ternyata justru pelatihan dengan memanfaatkan limbah kulit kacang sebagai bahan bakar itulah yang justru bertahan, bahkan bisa berproduksi secara mandiri dan dijual ke pasaran.

*****

Pembuatan briket kulit kacang itu dimulai dengan pembakaran. Setelah menjadi arang, kulit kacang yang masih berbentuk utuh lantas digiling. Proses selanjutnya, serbuk arang kulit kacang itu dicampur dengan adonan lem kanji, kemudian dipres untuk dicetak. Pencampuran antara adonan serbuk kulit kacang dengan lem kanji membutuhkan perbandingan 10:1, jadi setiap 10 kilogram serbuk kulit kacang membutuhkan satu kilogram lem kanji agar bisa dipres menjadi cetakan briket yang diinginkan. Setelah briket dicetak, lantas dijemur hingga kering. “Selama ini kami mengandalkan sinar matahari untuk pengeringan, namun jika cuaca tidak memungkinkan terpaksa kami memakai oven,” jelasnya.

Dari keseluruhan proses produksi briket limbah sampah organik itu, pembakaranlah yang memakan waktu cukup lama, kurang lebih sekitar dua hingga dua setengah jam. “Saat dilakukan pembakaran itu, kita harus benar-benar memerhatikan keseluruhan prosesnya, tidak bisa ditinggal karena harus terus-menerus diawasi, jangan sampai apinya mati sebab nanti akan gagal. Akan tetapi api itu juga tidak boleh dibiarkan hidup (membesar, red) karena kulit kacang yang dibakar akan menjadi abu, kalau sudah jadi abu tidak bisa dibikin menjadi serbuk. Gampang-gampang susah, memang,” tutur suami Purwanti itu. Untuk itu dirinya harus selalu mengamati dengan teliti ketika proses pembakaran itu tengah berlangsung melalui asap yang dihasilkan dari pembakaran tersebut.

Setiap satu tong drum ukuran sedang sanggup memuat 10 kilogram kulit kacang untuk dibakar. Itu, nantinya, akan menghasilkan briket sebanyak 5-6 kilogram. “Jika kami bisa memanfaatkan waktu kerja secara efektif, per hari, bisa menghasilkan hingga dua kuintal briket siap pakai. Sayangnya, sejak adanya aktifitas pembuatan briket di komunitas kami ini, kami jadi sering didatangi wartawan yang ingin wawancara jadi malahan waktu kerja kami tersita untuk melayani para wartawan itu,” ujarnya sambil tertawa.

Untuk mendapatkan kulit kacang sebagai bahan baku, Gun tidak cukup risau memikirkannya. Sebab, limbah kulit kacang yang dihasilkan dari usaha penggilingan kacang yang dimilikinya mencapai 1-1,5 ton setiap harinya. “Kalau soal bahan baku kami justru berlebih. Apalagi sejak ada pembuatan briket itu, saya (secara pribadi) menghentikan penjualan limbah kulit kacang mentah kepada para pelanggan lama karena memang limbah itu akan saya manfaatkan secara maksimal untuk pembuatan briket saja,” paparnya.

*****

Sayangnya, apa yang diharapkan Gun untuk memanfaatkan briket yang dijual per kilogram seharga Rp 2.000 dengan isi 20-25 bongkahan kecil itu masih belum mencapai hasil yang maksimal. Pasalnya, sasaran pemakai bahan bakar rumah tangga yang harganya relatif lebih murah dibanding minyak tanah atau elpiji itu justru bukan dari kalangan rumah tangga. Melainkan justru perajin-perajin yang menjalankan usaha home industri, seperti pengusaha tahu atau krupuk.

Gun mengakui, kesulitan penjualan itu juga dikarenakan belum adanya sosialisasi secara lebih luas kepada warga masyarakat, bahwa ada bahan bakar lain pengganti minyak tanah dan elpiji yang lebih murah dan mudah didapat, karena bisa dihasilkan dari lingkungan sekitar mereka sendiri. “Tetangga sekitar saya saja banyak yang tidak tahu tentang briket itu dan belum mau memakainya. Mereka masih khawatir, meskipun murah tapi takutnya pemakaian justru lebih boros,” kata ayah Vivilia Pradita itu.

Padahal, menurutnya, sebenarnya kita hanya perlu mengubah pola atau cara memasak yang selama ini sudah dijalankan. Jika pada umumnya masing-masing rumah tangga, dalam sehari, memasak keperluan pangan dan lain-lain dua hingga tiga kali, dan itu, ternyata memang relatif jauh lebih boros dalam penggunaan bahan bakar. Gun pun menyarankan, mulai sekarang, dengan adanya bahan bakar briket itu, masyarakat juga mulai mengubah pola memasak mereka. “Sebelum memasak terlebih dulu harus dikonsep sesuai dengan kebutuhan seluruh anggota keluarga pada hari itu, dan memasaknya pun juga harus diselesaikan dalam satu kali proses memasak, jadi dalam sehari tidak perlu memasak sampai dua atau tiga kali. Saat saya menerapkan pola itu dalam keluarga saya, ternyata memang lebih irit pemakaian bahan bakar. Apalagi jika memakai briket yang suhu panasnya lebih tinggi dan bisa bertahan lama dibanding minyak tanah, sehingga dalam mematangkan masakan bisa lebih cepat dan optimal,” jelasnya.

Kendala lain yang dirasanya menjadi penghambat tersosialisasinya briket itu adalah belum tersedianya tungku sebagai media pembakaran. Memang, tungku yang dibutuhkan bukan tungku sembarangan, seperti tungku arang yang selama ini dikenal masyarakat. Melainkan, harus menggunakan tungku khusus seperti yang digunakan untuk batu bara yang terbuat dari batu tahan api. “Kalau memakai tungku arang, panas yang dihasilkan tidak maksimal karena tidak merata, panasnya kan dari bawah. Jika memakai tungku batu bara panasnya merata karena dari atas,” ungkapnya.

Saat ini, Gun dan Pemerintah Desa Sidomulyo tengah menjalin kerja sama dengan para perajin gerabah di Pundong, Bantul untuk pembuatan tungku khusus briket sampah itu, yang rencananya akan dijual seharga Rp 6.000 per tungku. “Kalau nanti tungkunya sudah disediakan di sini, para pemakai dari kalangan rumah tangga sudah bisa memanfaatkan briket sampah itu sebagai pengganti bahan bakar minyak tanah untuk kebutuhan rumah tangga, karena kan tungkunya sudah ada. Jadi tidak hanya kalangan home industri yang memanfaatkan bahan bakar murah itu, melainkan individu juga sudah ikut memanfaatkannya, supaya tidak akan ada lagi alasan untuk tidak mau berganti menggunakan energi alternatif pengganti minyak tanah atau elpiji yang semakin langka dan mahal itu,” imbuhnya.***

[*tulisan ini dimuat di Majalah Kombinasi Edisi 23-Februari 2008]